birokrasi yang seharusnya mengayomi, terselip kisah kelam soal bagaimana kekuasaan bisa melahirkan monster sosial: preman peliharaan pejabat. Di salah satu wilayah Indonesia, praktik ini tak hanya meresahkan, tapi juga telah menghancurkan tatanan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
Istilah “preman peliharaan” merujuk pada individu atau kelompok yang kerap menggunakan kekerasan atau intimidasi, dan mendapatkan perlindungan atau bahkan dukungan dari pejabat tinggi daerah—dalam hal ini, sang bupati. Preman-preman ini sering terberi proyek, akses sumber daya, atau kekuasaan informal yang seharusnya tak mereka miliki.
Dalam kasus terbaru yang mencuat, wilayah tersebut mengalami:
- Perusakan fasilitas publik: Pasar tradisional gusur tanpa ganti rugi adil.
- Pemerasan terhadap pelaku usaha kecil: Pedagang terkenakan ‘uang keamanan’ oleh orang-orang suruhan bupati.
- Kekerasan terhadap warga yang protes: Mereka yang melawan justru ditangkap atau diintimidasi.
Akibatnya, perekonomian lokal lumpuh dan masyarakat hidup dalam ketakutan.
Ini terjadi karena:
- Koneksi langsung ke pejabat: Preman terlindungi karena anggap “jasa”-nya membantu stabilitas kekuasaan.
- Lemahnya penegakan hukum: Aparat kerap ragu bertindak karena intervensi politik.
- Budaya feodal dalam pemerintahan lokal: Loyalitas personal lebih terhargai banding integritas hukum.
Kondisi ini menciptakan efek domino:
- Turunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.
- Radikalisasi warga: Beberapa kelompok mulai bergerak diam-diam membentuk perlawanan sendiri.
- Investasi hengkang: Pengusaha enggan menanam modal di daerah yang tidak stabil.
Masyarakat kini mulai bersuara. Lewat media sosial, advokasi hukum, dan laporan ke KPK atau Ombudsman, tekanan terhadap pusat kekuasaan lokal meningkat. Namun, perubahan akan sulit jika tidak ada reformasi struktural, termasuk:
- Transparansi anggaran daerah
- Pengawasan independen terhadap kepala daerah
- Perlindungan hukum terhadap pelapor atau whistleblower
Kasus preman peliharaan bupati ini bukan sekadar isu lokal, melainkan sinyal darurat tentang rapuhnya sistem demokrasi di tingkat daerah. Masyarakat butuh pejabat yang melayani, bukan yang memperalat kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Saatnya suara rakyat lebih terdengar daripada suara intimidasi.